Mendidik adalah tugas utama orang tua. Keduanyalah yang akan membuat anak bertumbuh kembang baik fisik, mental, pengetahuan, bahkan keimanan. Namun, dalam prakteknya lebih banyak ibu yang merasa berjuang sendirian untuk mendidik anaknya. Sedangkan sang ayah lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk mencari nafkah, sehingga ketika pulang sudah terlajur lelah dengan segala urusan di luar rumah.
Hal ini terkadang membuat seorang ibu kehilangan kesabaran dan sering memarahi daripada mengasihi dalam proses pendidikan anak-anaknya karena merasa tidak mendapat support sistem terbaik dari suaminya, sehingga menjadi mudah stress dan krisis kepercayaan diri. Yang lebih parah lagi, seringnya ketika sudah tak tahan dengan tingkah anaknya, seorang ibu akan mengeluarkan kata-kata kasar atau bahkan cacian dan makian yang membuat perkembangan anak menjadi terhambat dan psikisnya terganggu.
Oleh karena itu, jika tidak mendapatkan solusi dari sang suami karena memang suami memiliki udzur untuk terlibat dalam pendidikan anak, maka seorang ibu perlu untuk belajar serba serbi perkembangan psikologi anak supaya membuat ibu merasa mampu mendidik anaknya dan menjadi lebih memahami alasan dibalik perilaku mereka, sehingga tetap dapat menjadi ibu penuh cinta ditengah segala keterbatasan sarana dan support sistem yang dimilikinya. Agar anak-anak mereka tetap dapat tumbuh dengan baik dalam setiap tahap proses pendidikan yang dijalani.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan adalah proses ‘memanusiakan’ manusia, dalam arti pendidikan adalah proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia, sehingga seluruh potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualkan potensi manusia, diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi dan situasi serta lingkungan yang tepat untuk mengaktualkannya. Pengetahuan tentang diri manusia dengan segala permasalahannya dibicarakan dalam psikologi. Demikianlah eratnya hubungan antara psikologi dengan pendidikan.[1]
Perasaan anak dapat dibentuk sedemikian rupa, dan hal ini sangat berpengaruh terhadap jiwa dan kepribadiannya. Apabila perasaan (psikis) anak dibina secara seimbang maka kelak ia akan menjadi pribadi yang lurus. Namun, jika sebaliknya maka akibatnya pun akan berbalik pula.
Yang dimaksud dengan pendidikan psikis yaitu, mendidik anak supaya bersikap berani, berterus terang, merasa sempurna (percaya diri), suka berbuat baik terhadap orang lain, dan menahan diri ketika marah.[2]
Dapat kita menoleh kembali ke masa Rasulullah SAW, bagaimana beliau bersikap ataupun menyikapi pembinaan psikis anak. Maka akan banyak kita jumpai hadits-hadits yang menerangkan bagimana ungkapan kasih sayang Rasulullah SAW terhadap anak-anak kecil.
Meriwayatkan Bukhori dan Muslim bahwa Abu Hurairah berkata, “Nabi SAW mengecup Hasan bin Ali (cucu beliau), lalu Aqra’ bin Habis berkata, “ Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh anak, namun aku tidak pernah mengecup salah satu pun dari mereka.” Rasulullah SAW kemudian bersabda,
مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ
“Siapa yang tidak menyayangi tidak akan disayangi”[3]
Ibnu Asakir meriwayatkan bahwa Anas berkata, “Adalah Rasulullah SAW menjadi orang yang paling penyayang kepada anak-anak dan keluarganya.[4]
Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jauzi , psikologi dan pendidikan merupakan dua aspek yang saling berkaitan (integral). Sementara itu, fase kanak-kanak merupakan fase yang sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam hubungannya dengan pendidikan.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah merupakan tokoh pendidikan yang menaruh perhatian cukup besar terhadap perkembangan psikologis anak sejak sebelum dilahirkan (masa pranatal), bahkan sejak penanaman benih (masa prakonsepsi) sehingga pindah dari alam dunia ke alam barzah.
Kasih sayang terhadap anak merupakan bagian dari sifat-sifat Nabi Muhammad SAW dan jalan untuk bisa masuk surga dan meraih keridhoan Allah SWT. Ia merupakan salah satu dari pilar pembinaan psikis anak.
Dalam islam, kasih sayang adalah anugrah yang diberikan oleh Allah dan merupakan firtrah dasar orang tua. Beberapa ayat dan hadits telah menjelaskan hal tersebut yaitu,
Telah kita ketahui, di dalam diri orang tua tersimpan fitrah untuk mencintai buah hati dan perasaan psikologis lainnya. Seperti, keinginan untuk memelihara, mengasihi, menyayangi, menjaga, memperhatikan kepentingan anak dan lain semisalnya.[5]
Kiranya sangat tepat, jika Al-Qur’an menggambarkan perasaan-perasaan orang tua sedemikian rupa. Sehingga sesekali Allah SWT menyebut anak sebagai perhiasan dunia,[6]
اَلْماَلُ وَ ألْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَياَةِ الدُّنْياَ…
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” (Q.S. Al-Kahfi: 46)[7]
Dan sesekali pula Al-Qur’an memandang buah hati sebagai nikmat yang patut untuk sangat disyukuri,
وَاَمْدَدْنَاكُم بِاَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ جَعَلْنَاكُمْ اَكْثَرَ نَفِيْرًا
“…dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak, dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar” (Q.S. Yusuf: 6)[8]
Dan terkadang menyebutnya sebagai penyejuk hati,
وَالّذِيْنَ يَقُوْلوْنَ رَبَّنَا هَبْلَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَاوَ ذُرًّيَّتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ…
“Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dam keturunan kami sebagai penyejuk hati kami,…” (Q.S. Al-Furqon: 74)[9]
Dan masih banyak lagi, gambaran tentang perasaan orang tua terhadap anak-anak mereka dalam ayat Al-Qur’an.
Inilah salah satu perasaan-perasaan mulia yang Allah titipkan di hati para orang tua. Bisa dibayangkan bagaimana orang tua tanpa kasih sayang. Tidak diragukan lagi ini akan mengakibatkan interaksi yang buruk antara orang tua dengan anak. Oleh karena itu syariat Islam menanamkan tabiat kasih sayang di dalam hati para pendidik.[10]
Rasulullah SAW bersabda,
لَيْسَ مِنَّامَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا, وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيْرِنَا
“Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak mengasihi anak kecil di antara kami, dan tidak mengetahui hak yang tua di antara kami.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)
Dengan ini, kita dapat mengetahui bahwa Islam telah menetapkan konsep yang tidak lain semua itu sangat penting dalam membangun psikis sang buah hati.
Kondisi psikis anak, juga dipengaruhi saat berada dalam rahim sang ibunda. Ketenangan dan kekalutan pikiran saat ibu hamil, bisa menular kepada bayi melewati hormon yang masuk melewati plasenta. Jika yang tersedot oleh bayi berupa sesuatu yang buruk, perkembangan janin pun akan buruk. Maka dari itu, sebagai tindakan preventif, memperbanyak ibadah di kala hamil sangat membantu menenangkan pikiran. Memperbanyak dzikir, shalat malam, dan membaca Al-Qur’an membuat hati terasa dekat dengan Allah SWT. Semua itu sangat urgen untuk diperhatikan, karena janin pun mempunyai hak kesehatan psikis.
Kesehatan psikis anak dalam setiap tahap pendidikannya berperan penting membentuk karakter dan kepribadiannya dikemudian hari. Kondisi kejiwaan pada anak mempunyai beberapa tahap dari tahun ke tahun. Dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pada tahun pertama, anak memerlukan cinta kasih lebih dari segalanya. Dia tidak memiliki kemandirian. Dia menggantungkan seluruhnya kepada orang lain dan menangis saat mengahadapi gangguan, tetapi dia merespon siapa saja yang megajaknya bermain.[11]
Pada tahun kedua, anak mulai mencari tahu apa yang ada di sekitarnya. Pada masa ini, anak mulai meniru segala apa yang dia lihat, jadi sekiranya kita menjadi teladan yang baik bagi mereka dan berupaya untuk menjawab segala apa yang ingin dia ketahui.[12]
Masa peralihan antara tahun kedua dan ketiga adalah masa yang sulit. Pada masa ini anak mulai ingin mencoba segala sesuatu dan cenderung mengindahkan perkataan orang tua. Kata favorit pada masa ini adalah “tidak”. Dia juga akan sering marah meledak-ledak jika diganggu, akan tetapi kita harus membiarkannya melampiaskan gejolak emosinya. Kita mencoba membantu melampiaskan keingintahuannya dengan hal-hal yang tidak membahayakan.[13]
Pada tahun ketiga, anak terlihat lebih tenang daripada masa yang sebelumnya. Anak dapat memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga kita dapat mengajari mereka hal-hal yang sederhana seperti mencintai orang lain dan menghormati mereka.[14]
Pada tahun keempat, anak semakin aktif dan berusaha mencari tahu apa yang ada di sekitarnya termasuk dirinya. Dia akan bertanya tentang banyak hal. Dan dia juga mulai lancang dalam berbicara. Maka, seharusnya bagi kita untuk memberikan penjelasan sesuai tingkat kefahamannya. Untuk merespon segala pertanyaan, pakailah kata-kata yang sederhana. Meski mereka tidak mutlak memahami jawaban, tetapi itu akan membuat mereka mengetahui bahwa segala sesuatu terjadi atas asar sebab dan akibat.[15]
Pada tahun kelima anak semakin matang pemahamannya. Anak lebih bisa memperkirakan apa yang diinginkan orang tua dan mulai bisa mengakui kesalahan mereka. Mulai masa inilah proses kemandirian anak mulai berkembang pesat.[16]
Para dokter dan psikolog menyimpulkan, bahwa 5 tahun pertama adalah masa paling penting bagi kejiwaan anak dan masa pembentukan kepribadian mereka.Pada masa ini, daya khayal anak mulai meningkat tetapi terbatas pada sesuatu yang ada disekitarnya. Terkadang dia akan menceritakan hasil khayalannya seakan-akan memang itu benar-benar terjadi. Dia tidak berbohong, tetapi hanya menceritakan apa yang dia khayalkan.[17]
Penelitian menyebutkan, saat anak baru lahir sampai usia 5 tahun yang berkembang duluan adalah otak emosi alias otak belahan kanan. Dan karena yang berkembang otak emosi duluan, maka ini adalah masa-masa dimana anak kita penuh dengan imajinasi. Jika imajinasinya berkembang dalam batas normal, akan dapat memancing emosi positif yang dapat mengembangkan otak kanannya.
Ketika memasuki usia5-6 tahun, otak nalar/otak belahan kiri baru mulai berkembang. Maka saatnya kita memberikan stimulasi yang sifatnya konkrit kepada anak. Jika dilatih dengan benar logika anak akan terasah, dan dia akan mulai mampu mengerjakan kewajiban-kewajibannya dengan penuh kesadaran bukan hanya sekedar melakukan perintah orang tua saja. Inilah usia kritis dimana orang tua perlu sangat berhati-hati memberikan stimulasi apapun di awal perkembangan otak belahan kirinya karena akan membentuk kemandirian anak dikemudian hari.
Pada tahun keenam, anak mulai gandrung mempelajari sesuatu dan sedikit mulai jahil sebab memliki rasa penasaran yang tinggi. Dia mulai berperan sebagai orang lain.[18]
Pada tahun ketujuh, mulai tumbuh kreatifitas anak dan daya pikir yang mulai terarah.[19]
Tak heran Rasulullah saw mengajarkan kepada kita untuk memerintahkan anak sholat diusia 7 tahun karena memang usia 7 tahun dalam pendidikan islam disebut sebagai fase mumayyiz atau sudah mulai bisa membedakan baik dan buruk.
Rasulullah saw memerintahkan kepada orang tua untuk menyuruh anak-anak mereka melaksanakan sholat pada umur 7 tahun dan memukulnya pada umur 10 tahun apabila meninggalkan sholat, sebagaimana hadist berikut:
عن عمرو بن شعيب، عن أبيه، عن جده -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: مُرُوا أولادَكم بالصلاةِ وهم أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، واضْرِبُوهُمْ عليها، وهم أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ في المَضَاجِعِ
Artinya: Dari Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Perintahkan anak-anakmu melaksanakan sholat sedang mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka karena tinggal sholat sedang mereka berusia 10 tahun dan pisahkan antara mereka di tempat tidurnya.” (H.R Abu Daud)
Pada tahun kedelapan, wawasan anak semakin meluas. Dia akan banyak bertanya seperti fase sebelumnya akan tetapi yang berbeda adalah bagaimana orang tua menjawabnya dengan jawaban yang sesuai daya pikirnya.[20]
Pada usia delapan sampai dua belas tahun, anak semakin realistis dan menyukai hal-hal yang memerlukan ketangkasan serta ketrampilan.[21]
Itulah beberapa tahapan kejiwaan anak yang perlu diketahui oleh para orang tua untuk mempersiapkan segala yang diperlukan dalam berkembangan kejiwaan atau psikis pada setiap tahunnya. Namun perkembangan psikis anak bukan satu-satunya hal yang dapat membuat pendidikan berhasil. Ada banyak faktor yang harus di penuhi dalam setiap tahapan pendidikan agar mendapatkan hasil sesuai harapan para orang tua.
Point penting dari pendidikan psikis anak adalah, anak harus mendapatkan cinta dan kasih sayang yang cukup dari orang tua agar kejiwaaanya dapat berkembang dengan baik dan bahagia. Dan khusus untuk seorang ibu yang menghabiskan lebih banyak waktu bersama anak-anaknya, harus mampu menjadi ibu penuh cinta agar mampu membentuk anak-anak yang stabil jiwanya dan penuh kasih sayang sehingga segala potensinya bisa berkembang dan menjadi pribadi sukses di masa depan.
Jika seorang ibu merasa lelah, ada baiknya mengambil jeda dengan melakukan hal-hal yang disukai, pergi bertemu teman, makan makanan favorit, sesekali membiarkan rumah berantakan seharian, dan berusaha mencari hiburan agar jiwanya segar kembali dan siap menghadapi anak-anaknya. Menghadapi anak-anak dengan pikiran kusut dan mood yang amburadul, hanya akan membuat ibu merasa tertekan, emosi, dan tidak dapat mengendalikan diri sehingga justru membuat anak terluka secara psikis tanpa tahu alasan yang jelas. Maka ad tips sederhana agar menghindari benturan emosi dengan anak, jika sedang marah menghindarlah dari anak sejenak. Katakan pada mereka ibu sedang butuh waktu untuk sendiri. Ini akan menyelesaikan banyak masalah yang mungkin timbul sebab karena emosi yang memuncak. Setelah tenang, ajak bicara anak dan beritahu kesalahannya. Anak akan lebih mudah mencerna dan memahami hal-hal yang disampaikan dengan hati daripada sekedar luapan emosi semata. Wallahu a’lam bish showab.
Oleh: Qurrata A’yun S.Pd.I
[1] http://psi-islami.blogspot.com/
[2] ibid
[3]Diriwayatkan Ahmad dari Al-Musnad, 6/10.
[4] Muhammad Suwaid, Op.Cit, hal 253
[5]Muhammad Suwaid, Op.Cit, hal 24
[6]Muhammad Suwaid, Op.Cit, hal 25
[7]Syaamil Al-Qur’an, Op.Cit, hal 299
[8]Syaamil Al-Qur’an, Op.Cit, hal 236
[9]Syaamil Al-Qur’an, Op.Cit, hal 366
[10]Muhammad Suwaid, Op.Cit, hal 30
[11]Adil Fathi Abdullah, Knowing Your Child, Samudera Solo, Cet. I Agustus 2007, hal 29
[12]Adil Fathi Abdullah, Op. Cit, hal 30
[13] Adil Fathi Abdullah, Log. Cit
[14] Adil Fathi Abdullah, Log. Cit
[15]Adil Fathi Abdullah, Op. Cit, hal 31
[16] Adil Fathi Abdullah, Op. Ait, hal 32
[17]Adil Fathi Abdullah, Log. Cit
[18]Adil Fathi Abdullah, Log. Cit
[19]Adil Fathi Abdullah, Op. Cit, hal 33
[20] Adil Fathi Abdullah, Log. Cit
[21]Adil Fathi Abdullah, Log. Cit