Sifat-sifat Orang Yang Beriman Part 2

  • Whatsapp

Dalam Al-Qur’an banyak sekali disebutkan kata mukminin, yaitu orang-orang yang beriman. Tentu saja sebagai seorang muslim yang telah mengikrarkan diri tunduk dan taat pada Allah, hendaknya menaikkan levelnya menjadi seorang mukmin. Lantas bagaimana cara menaikkan level menjadi seorang mukmin? Pada artikel sebelumnya, telah kami bahas sifat-sifat orang yang beriman sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-furqan ayat 63-71. Mari kita ulas kembali sifat-sifat orang yang beriman dalam Al-Qur’an surat Al-furqan ayat 72-74.

  1. Tidak Memberikan Persaksian Palsu
    وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
    “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu…” (Al-furqan: 72)

Yakni kesaksian palsu alias sengaja berdusta untuk mencelakakan orang lain, seperti pengertian yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, melalui sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:

“أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بأكْبر الْكَبَائِرِ” ثَلَاثًا، قُلْنَا: بَلَى، يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: “الشِّرْكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ”. وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: “أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ، أَلَا وَشَهَادَةُ الزُّورِ [أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ] . فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا، حَتَّى قُلْنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ

“Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang dosa yang paling besar?”, sebanyak tiga kali. Maka kami menjawab, “Wahai Rasulullah, kami mau.” Rasulullah Shalallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Mempersekutukan Allah dan menyakiti kedua orang tua.” Pada mulanya beliau bersandar, lalu duduk tegak dan bersabda, “Ingatlah, ucapan dusta, ingatlah kesaksian palsu!” Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengulang-ulang sabda terakhirnya ini, sehingga kami berkata (dalam hati) bahwa seandainya beliau diam.

  1. Menjauhi Perbuatan Yang Kurang Berfaedah
    وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
    “…dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Al-furqan: 72)

Yakni mereka tidak mau menghadiri perbuatan yang tidak berfaedah itu, dan apabila secara kebetulan mereka bersua dengan orang-orang yang sedang melakukannya, maka mereka lewati saja dan tidak mau mengotori dirinya dengan sesuatu pun dari perbuatan yang berdosa itu. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya:

{مَرُّوا كِرَامًا}

mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72)

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأشَجّ، حَدَّثَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ الْعِجْلِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، أَخْبَرَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرة، أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ مَرَّ بِلَهْوٍ مُعْرِضًا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَقَدْ أَصْبَحَ ابْنُ مَسْعُودٍ، وَأَمْسَى كَرِيمًا”

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa’id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abul Hasan Al-Ajali, dari Muhammad ibnu Muslim, bahwa Ibrahim ibnu Maisarah telah menceritakan kepadaku bahwa Ibnu Mas’ud pernah bersua dengan orang-orang yang sedang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah, maka dia tidak berhenti. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Ibnu Mas’ud di pagi hari dan petang harinya menjadi orang yang menjaga kehormatan dirinya.

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَمَةَ النَّحْوِيُّ، حَدَّثَنَا حِبَّانُ، أنا عَبْدُ اللَّهِ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ مُسْلِمٍ، أَخْبَرَنِي ابْنُ مَيْسَرَةَ قَالَ: بَلَغَنِي أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ مَرَّ بِلَهْوٍ مُعْرِضًا فَلَمْ يَقِفْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” لَقَدْ أَصْبَحَ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَمْسَى كَرِيمًا”. ثُمَّ تَلَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ: {وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا}

Telah menceritakan pula kepada kami Al-Husain ibnu Muhammad ibnu Salamah An-Nahwi, telah menceritakan kepada kami Hibban, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepadaku Maisarah; telah sampai suatu berita kepadanya bahwa Ibnu Mas’ud pernah bersua derigan orang-orang yang sedang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah, tetapi dia tidak berhenti. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Sesungguhnya Ibnu Mas’ud di pagi hari dan petang harinya menjadi orang yang menjaga kehormatan dirinya. Kemudian Ibrahim ibnu Maisarah membaca firman-Nya: dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (Al-Furqan: 72)

  1. Menerima peringatan-peringatan dalam Al-Qur’an dengan lapang hati
    وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا
    “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta.” (Al-furqan: 73)

Yaitu berbeda dengan orang kafir yang apabila mendengar ayat-ayat Allah, maka dirinya tidak terpengaruh, bahkan tetap dalam keadaannya yang kafir, seakan-akan tidak mendengarnya bagaikan orang yang tuli dan buta.

Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka tidak menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta. (Al-Furqan: 73) Maksudnya, mereka tidak mendengarkannya, tidak mau melihatnya, dan tidak mau mengerti akan sesuatu pun darinya. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa betapa banyaknya lelaki yang membaca ayat-ayat Allah, sedangkan mereka menghadapinya seperti orang-orang yang tuli dan bisu.

Hal ini pun merupakan salah satu dari sifat dan ciri khas orang-orang mukmin, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ}

mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka; dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakal. (Al-Anfal: 2)

Berbeda dengan orang kafir; karena sesungguhnya apabila dia mendengar kalamullah, tiada pengaruh dalam dirinya dan tiada perubahan dari apa yang sebelumnya dia lakukan, bahkan dia tetap pada kekafiran, kesesatan, kejahilan, dan kelewat batasnya. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain:

{وَإِذَا مَا أُنزلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيمَانًا فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ. وَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ}

Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, “Siapakah di antara kalian yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?”Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedangkan mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka di samping kekafirannya (yang telah ada). (At-Taubah:124-125)

  1. Mendoakan Pasangan Dan Keturunannya
    وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
    “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-furqan: 74)

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ}

Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74)

Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah agar dikeluarkan dari sulbi mereka keturunan yang taat kepada Allah dan menyembah­Nya semata, tanpa mempersekutukan-Nya.

Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka ingin memperoleh keturunan yang selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah sehingga hati mereka menjadi sejuk melihat keturunannya dalam keadaan demikian, baik di dunia maupun di akhirat.

Ikrimah mengatakan, mereka tidak bermaksud agar beroleh keturunan yang tampan, tidak pula yang cantik, tetapi mereka menginginkan keturunan yang taat.

Al-Hasan Al-Basri pernah ditanya tentang makna ayat ini. Ia menjawab, “Makna yang dimaksud ialah bila Allah memperlihatkan kepada seorang hamba yang muslim istri, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah. Demi Allah, tiada sesuatu pun yang lebih menyejukkan hati seorang muslim daripada bila ia melihat anak, cucu, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”

Ibnu Juraij telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74) Yakni orang-orang yang menyembah-Mu dengan baik dan tidak menjerumuskan kami ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilarang.

Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka memohon kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada istri-istri mereka dan keturunan mereka untuk memeluk agama Islam.

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}

dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. (Al-Furqan: 74)

Ibnu Abbas, Al-Hasan As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah para pemimpin yang mengikuti kami dalam kebaikan.

Selain mereka mengatakan, yang dimaksud ialah para pemberi petunjuk yang mendapat petunjuk dan para penyeru kebaikan; mereka menginginkan agar ibadah mereka berhubungan dengan ibadah generasi penerus mereka, yaitu anak cucu mereka. Mereka juga menginginkan agar hidayah yang telah mereka peroleh menurun kepada selain mereka dengan membawa manfaat, yang demikian itu lebih banyak pahalanya dan lebih baik akibatnya. Karena itulah disebutkan di dalam Sahih Muslim melalui hadis Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda:

“إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ عَلَمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ مَنْ بَعْدَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ”

Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakan (orang tua)nya, atau ilmu yang bermanfaat sesudah dia tiada, atau sedekah jariyah.

Oleh : Asma’ Zahida
Sumber : Tafsir Ibnu Katsir

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published.