Sifat-Sifat Orang yang Beriman

Dalam Al-Qur’an banyak sekali disebutkan kata mukminin, yaitu orang-orang yang beriman. Tentu saja sebagai seorang muslim yang telah mengikrarkan diri tunduk dan taat pada Allah, hendaknya menaikkan levelnya menjadi seorang mukmin.

Lantas bagaimana cara menaikkan level menjadi seorang mukmin? Berikut ini adalah sifat-sifat hamba-hamba Allah Yang beriman, sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Furqon ayat 63-74 yaitu:

  1. Berjalan di muka bumi dengan rendah hati.

{الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الأرْضِ هَوْنًا}

“Orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati.” (Al-Furqan: 63)

Yaitu dengan langkah yang tenang dan anggun, tidak sombong, dan tidak angkuh. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا}

“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.” (Al-Isra: 37)

Cara jalan mereka tidak sombong, tidak angkuh, tidak jahat, dan tidak takabur. Tetapi makna yang dimaksud bukanlah orang-orang mukmin itu berjalan dengan langkah seperti orang sakit, karena dibuat-buat dan pamer. Karena sesungguhnya penghulu anak Adam (yakni Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam) apabila berjalan seakan-akan sedang turun dari tempat yang tinggi (yakni dengan langkah yang tepat) seakan-akan bumi melipatkan diri untuknya.

Sebagian ulama Salaf memakruhkan berjalan dengan langkah yang lemah dan dibuat-buat, sehingga diriwayatkan dari Umar bahwa ia melihat seorang pemuda berjalan pelan-pelan. Maka ia bertanya, “Mengapa kamu berjalan pelan? Apakah kamu sedang sakit?” Pemuda itu menjawab, “Tidak, wahai Amirul Mu-minin.” Maka Umar memukulnya dengan cambuk dan memerintahkan kepadanya agar berjalan dengan langkah yang kuat.

Makna yang dimaksud dengan haunan dalam ayat ini ialah rendah hati dan anggun, seperti yang disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:

“إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَلَا تَأْتُوهَا وَأَنْتُمْ تَسْعَوْنَ، وَأْتُوهَا وَعَلَيْكُمُ السِّكِينَةُ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلَّوْا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا”

Apabila kalian mendatangi (tempat) salat (masjid), janganlah ka­lian mendatanginya dengan berlari kecil, tetapi berjalanlah dengan langkah yang tenang. Apa yang kalian jumpai dari salat itu, kerja­kanlah; dan apa yang kamu tertinggal darinya, maka sempurnakanlah.

  1. Berkata yang baik meskipun dicaci maki.

{وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلامًا}

“Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al-Furqan: 63)

Yaitu apabila orang-orang jahil menilai mereka sebagai orang-orang yang kurang akalnya yang diungkapkannya kepada mereka dengan kata-kata yang buruk, maka mereka tidak membalasnya dengan hal yang semisal, melainkan memaafkan, dan tidaklah mereka mengatakan perkataan kecuali yang baik-baik.

Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam; semakin orang jahil bersikap keras, maka semakin pemaaf dan penyantun pula sikap beliau. Dan seperti yang disebutkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain:

{وَإِذَا سَمِعُوا اللَّغْوَ أَعْرَضُوا عَنْهُ}

“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya.” (Al-Qasas: 55)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Al-A’masy, dari Abu Khalid Al-Walibi, dari An-Nu’man ibnu Muqarrin Al-Muzani yang mengatakan bahwa pada suatu hari ada seorang lelaki mencaci maki lelaki lainnya di hadapan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu orang yang dicaci mengatakan, “‘Alaikas salam (semoga engkau selamat).” Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Ingatlah, sesungguhnya ada malaikat di antara kamu berdua yang membelamu. Setiap kali orang itu mencacimu, malaikat itu berkata, “Bahkan kamulah yang berhak, kamulah yang berhak dicaci.”Dan apabila kamu katakan kepadanya, ” ‘Alaikas salam,” maka malaikat itu berkata, “Tidak, dia tidak berhak mendapatkannya, engkaulah yang berhak mendapatkannya.”

Sanad hadis berpredikat hasan, tetapi mereka tidak mengetengahkannya.

Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “…mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al-Furqan: 63) maknanya adalah mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung petunjuk.

Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa mereka menjawab dengan kata-kata yang baik.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, mereka mengatakan, “Salamun ‘alaikum (semoga keselamatan terlimpahkan kepada kalian).”

Jika mereka dinilai sebagai orang yang kurang akalnya, maka mereka bersabar. Mereka tetap bergaul dengan hamba-hamba Allah di siang harinya dan bersabar terhadap apa pun yang mereka dengar. Kemudian disebutkan bahwa pada malam harinya mereka melakukan ibadah.

  1. Menegakkan shalat malam (Qiyamullail).

{وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيَامًا}

“Dan orang-orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (Al-Furqan: 64)

Yakni mengerjakan ketaatan dan beribadah kepada-Nya, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:

{كَانُوا قَلِيلا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ وَبِالأسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ}

Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Az-Zariyat: 17-18)

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ

“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.” (As-Sajdah: 16)

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

{أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ}

“Ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedangkan ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya?” (Az-Zumar: 9)

  1. Berlaku pertengahan dalam harta, tidak boros, tidak juga pelit.

{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا}

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak (pula) kikir.” (Al-Furqan: 67)

Yakni mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi. Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.

{وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}

“Dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Al-Furqan: 67)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isham ibnu Khalid, telah menceritakan kepadaku Abu Bakar ibnu Abdullah ibnu Abu Tamim Al-Gassani, dari Damrah, dari Abu Darda, dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang telah mengatakan: Seorang lelaki yang bijak ialah yang berlaku ekonomis dalam penghidupannya.

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Ubaidah Al-Haddad, telah menceritakan kepada kami Miskin ibnu Abdul Aziz Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: Seseorang yang berlaku ekonomis tidak akan miskin.

Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad ibnu Maimun, telah menceritakan kepada kami Sa’d ibnu Hakim, dari Muslim ibnu Habib, dari Bilal Al-Absi, dari Huzaifah yang mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah bersabda: Betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan berkecukupan, dan betapa baiknya sikap ekonomis dalam keadaan fakir, dan betapa baiknya sikap ekonomis (pertengahan) dalam (hal) ibadah.

Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hadis ini melainkan hanya melalui hadis Huzaifah Radhiyallahu Anhu.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa membelanjakan harta dijalan Allah tidak ada batas berlebih-lebihan. Iyas ibnu Mu’awiyah mengatakan bahwa hal yang melampaui perintah Allah adalah perbuatan berlebih-lebihan. Selain dia mengatakan bahwa berlebih-lebihan dalam membelanja­kan harta itu bila digunakan untuk berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

  1. Taubat nashuha

إِلا مَنْ تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.

Yaitu bertobat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sewaktu masih di dunianya dari semua perbuatan dosanya, maka Allah akan menerima tobatnya.

{يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ}

“Kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan.” (Al-Furqan: 70)

Ada dua pendapat mengenainya. Salah satunya mengatakan bahwa amal buruk mereka diganti dengan amal kebaikan.

Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang sebelum beriman selalu mengerjakan amal-amal keburukan. Kemudian Allah menjadikan mereka benci terhadap amal keburukan, dan Allah mengalihkan mereka kepada amal kebaikan. Hal ini berarti bahwa Allah mengganti keburukan mereka dengan kebaikan.

Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa Allah mengubah kebiasaan mereka yang tadinya menyembah berhala, menjadi menyembah Tuhan Yang Maha Pemurah; dan tadinya mereka memerangi kaum muslim, lalu menjadi memerangi kaum musyrik; dan Allah membuat mereka yang tadinya suka mengawini wanita-wanita kaum musyrik, kini mereka suka mengawini wanita-wanita beriman.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Allah mengganti amal buruk mereka dengan amal yang saleh, dan kemusyrikan diganti dengan keikhlasan, suka melacur diganti dengan memelihara kehormatan, dan kekufuran diganti dengan Islam. Demikianlah menurut pendapat Abul Aliyah, Qatadah, dan jamaah lainnya.

Pendapat yang kedua mengatakan bahwa keburukan-keburukan yang telah silam berubah dengan sendirinya menjadi amal-amal kebaikan berkat tobat yang bersih. Hal tersebut tiada lain karena manakala ia teringat akan dosa-dosa yang telah silam, hatinya merasa menyesal dan mengucapkan istirja’ serta istigfar. Jadi, dipandang dari pertimbangan ini maka dosanya berganti dengan sendirinya menjadi amal ketaatan. Dan kelak di hari kiamat sekalipun dosa-dosanya itu dijumpai tertulis di dalam buku catatan amalnya, sesungguhnya hal itu tidak membahayakannya karena telah diganti menjadi amal-amal kebaikan.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Sayyar, telah menceritakan kepada kami Ja’far, telah menceritakan kepada kami Abu Hamzah, dari Abus Saif—salah seorang murid sahabat Mu’az ibnu Jabal—yang mengatakan bahwa orang-orang yang masuk surga itu ada empat golongan, yaitu kaum muttaqin, kemudian kaum syakirin, lalu kaum kha’ifin (orang-orang yang takut kepada Allah), kemudian yang terakhir adalah as-habul yamin (golongan kanan). Abu Hamzah bertanya, “Mengapa mereka dinamakan as-habul yam’in? Abus Saif menjawab bahwa mereka telah melakukan amal keburukan dan amal kebaikan. Kemudian catatan amal perbuatan mereka diberikan kepada mereka dari sebelah kanannya. Maka mereka membaca keburukan-keburukan mereka kalimat demi kalimat, lalu mereka bertanya, “Wahai Tuhan kami, ini adalah catatan keburukan kami, lalu manakah catatan kebaikan kami?” Maka pada saat itu Allah menghapus semua keburukan mereka dan menggantinya dengan kebaikan-kebaikan. Dan saat itu mereka berkata, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Ambillah dan bacalah Kitabku (ini!). (Al-Haqqah: 19) Mereka adalah penduduk surga yang paling banyak jumlahnya.

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan tentang rahmat-Nya yang ditujukan kepada semua hamba-Nya secara umum, bahwa barang siapa di antara mereka yang bertobat kepada-Nya dari dosa apa pun yang telah dilakukannya, baik kecil maupun besar, niscaya Allah akan menerima tobatnya. Untuk itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

{وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَابًا}

“Dan orang yang bertobat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya.”
(Al-Furqan: 71)

Related posts